Reffrain #Part 1 : Hujan, Paris, Ludwig
00.08Pagi yang begitu dingin membuatku enggan membuka mata untuk beranjak dari ranjang empukku dan selimut halus yang membuatku hangat dan nyaman. Sang matahari tidak menyapaku pagi ini, sebagai gantinnya gumpalan awan gelap menyelimuti langit pagi ini. Pertanda kalau akan datang hujan sepanjang hari, dan sepertinya akan musim hujan di bulan ini. Aku ingat betul seminggu kemaren aku baru menginjakkan kakiku datang ke kota ini. Paris. Dan sayangnya aku datang tidak bersama Wahyu karena aku datang untuk mengunjungi tante dan sepupuku Merlyn. Ini akan jadi 30 hari yang menyenangkan bagiku menghabiskan sepanjang hariku disini. Aku dan Wahyu bertengkar hebat seminggu yang lalu, tepat dimalam aku memutuskan untuk mendatangi tante dan sepupuku saat ini.
Waktu itu Hujan mengguyur Di
kotaku, Aku dan Wahyu sedang bersama dan kami berteduh di sebuah café unik yang
diberi nama Cintapucino. Kemaren rasanya romantisme itu milikku tapi sekarang
ini aku rasa tidak. Pertengkaran kami berdua penuh amarah dan emosi. Ku lihat
wajahnya yang lembut bagaikan pisau yang tajam mematikan. Aku diradang cemburu
yang besar padanya. Ku lihat dia sedang bersama Patricia. Patricia adalah
wanita yang kutahu dekat dengan Wahyu. Sejauh apa hubungan mereka, aku sendiri
tidak berani menanyakan itu pada Wahyu hingga akhirnya aku menuduhnya dengan
kesal dan kekesalan itu membuatku berada di sini sekarang, di Paris.
Paris, aku kumpulkan segala rasa
pada ujung jemari, tidak memberikan celah sedikitpun untuk membuang rasa yang
tidak ku mengerti. Dirimu menjadi semu. Dan tetesan hujan menemaniku dalam
hanyutan rasa yang tak kumengerti ini. Aku menatap hujan lewat jendela kaca,
mengamati setiap inci tangisan alam. Seolah mencari kedamaian di dalamnya.
Pikiranku melayang entah kemana. Lelaki yang selalu hadir dalam pikiranku telah
memberikan lubang dalam hatiku.
Drrrt drtt drttt, handpone mungil
itu bergetar, membuyarkan lamunanku.
From : Wahyu – beloved-
To : Chandra
Tidak perlu kamu tahu sesakit apa
aku, yang perlu hanya kamu bilang cinta kepadaku. Paling tidak aku sudah
mencoba untuk tidak terjatuh, dan meski bukan keduatanganmu yang menangkapku
secara utuh. Memang ada yang hancur dan tidak secara baik tertata. Paling tidak
aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Meski yang kurasakan adalah tangis
untuk keduanya. Paling tidak aku selangka untuk masa yang belum ada dan untuk
masa bahagia.
Airmata lalu membasahi pipiku,
aku tahu betul Wahyu saat ini sedang jatuh cinta lagi. Mungkin benar
hubungannya dengan wanita bernama Patricia itu sudah dalam hingga membuatnya
kesulitan untuk memilih. Aku harap suatu
hari nanti aku bisa melepasmu jika memang seperti itu seharusnya. Namun jika
hati ini bicara tentang kamu, maka aku harus memperjuangkan cinta kita. Namun
aku tak tahu mengapa airmata itu makin deras mengalir di pipiku. Ini airmata
kesedihanku, kekecewaanku. Harum aroma petrichor hujan kali ini membuat suasana
makin sedih.
“I love you. Je t’aime pour
toujours et a jamais. Tue s tojours dans month coeur” bisikkan manis itu
membuatku amat sedih. Apa arti kata-kata itu jika saat ini Wahyu membagi
cintanya untuk wanita lain selain aku. Hujan mungkin tak selalu seromantis yang
aku bayangkan, buktinya kisah hujanku tak seromantis dulu. Ketika aku membuka
jendela kaca kamarku dan mengadakan tanganku di terpaan hujan dan berimajinasi
seolah aku sedang bersamanya. Semenit baru kusadar kalau hujan ini tidak romantis.
Hujan makin deras sekali, aku menutup jendela kaca kamarku kembali dan
merebahkan badanku di kasur. “Hujan sudah tidak seromantis dulu”, Batinku. “Ketika
aku membuka lebar lubang hidungku dan menikmati aroma petrichor yang sedap
ketika airnya mencium tanah, Hujan tidak seromantis dulu ketika telapak kaki
dan tanganku memucat karena dinginnya”.
Sesaat kemudian suara langka kaki
seseorang menaikki tangga dan membuka pintu kamarku.
“Chan, coklat hangatnya sudah mau
dingin, turun dulu yuk? Hari ini tante lagi ada lembur di kantor tempat tante
bekerja. Kamu ga papa kan di apartemen sendirian?”
“Loh, Merlyn kemana tante?”
tanyaku tersenyum menutupi kesedihanku yang sedang dilanda kegalauan hati.
“Oh iya tante lupa, Merlyn hari
ini lagi ada di Dubai, Dia menitipkan pesan untuk memberitahumu karena dia
sedang buru-buru” ungkap tante menjelaskan kalau Merlyn sedang berada di Dubai.
Entahlah ada apa sepupuku itu berada disana, mungkin saja dia sedang ada keperluan.
Toh aku memang sedang butuh waktu sendirian untuk merenung.
Hujan masih sangat deras hingga malam
hari. Aku menempelkan wajahku ke jendela kaca. Langit tak berbintang, awan
kabut menutupinya dan sesekali suara Guntur dan petir yang menyambar. Hujan malam
ini membuatku merindukan seseorang. Kamu membuatku terpaut rindu denganmu.
Hujan yang mempertemukan kita, apa hujan akan memisahkan kita juga?. Diantara
kedip nakal petir, amukan guntur, dingin jarum-jarum hujan, desah angin yang
membentur kaca jendela membuatku terkaget oleh suara kucing yang mengeong keras
yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya. Matanya seperti berair. “Kucing
ini habis menangis sepertinya.” Aku membatin melihat kucing itu mengeong
mendekatiku. Kucing itu mengendus endus kakiku, kucing itu terlihat kedinginan
dengan udara malam ini. Ku angkat kucing itu dan ku elus-elus. Ketika aku
membawanya ke dapur dan memberikan susu, kudengar ada suara ketokan pintu. Ada
tamu. Mungkin saja itu tante yang tiba-tiba pulang karena tidak jadi lembur
ataukah Merlyn yang tiba-tiba pulang dan mengucapkan abradakadabra aku datang, ataukah Wahyu? Ah Wahyu, aku rasa
itu tidak mungkin. Bahkan Wahyu tak tahu jika aku berada di Paris.
“Hai? Apa kamu lihat Sabrina?”
Tanya sosok laki-laki didepanku.
“Sabrina? Um maaf, ini tempat
tanteku dan sepupuku Merlyn, jadi aku rasa tidak ada yang bernama Sabrina.”
Sosok laki-laki di hadapanku
tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku Ludwig,” Laki-laki itu
kemudian mengulurkan tangannya kepadaku. “ Aku tinggal di kamar no 49, aku
sedang mencari Sabrina. Dia kucing ku yang kabur”. Jelasnya kepadaku
“ Um,, aku Chandra”, jawabku
mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengannya. Laki-laki di hadapanku ini
tampan, matanya berwarna biru. Belum pernah aku menemui seseorang yang bermata
biru seperti dia.
“Aku minta maaf, apakah kamu
melihatnya?”
“Jangan kawatir, dia baru saja
minum susu di dapurku”.
Laki-laki itu tersenyum kepadaku.
Dia keliatan begitu mencemaskan kucingnya. Aku kemudian mempersilahkannya masuk.
“bagaimana bisa?”
“Apanya?” tanyaku bingung sambil
menatap laki-laki itu. Oh Tuhan dia begitu tampan sekali dan membuatku
terpesona.
“Sabrina, bagaimana bisa dia
berada ditempatmu?” Ludwig memamerkan senyum manisnya di depanku. Dari namanya
sepertinya dia bukan orang Indonesia, tetapi dia dia begitu fasih.
“Oh, um, entahlah. Dia muncul
tiba-tiba”. Aku kemudian melangkahkan kakiku pergi ke dapur dan membawa
Sabrina, kucing Ludwig yang tadi ku beri susu ke ruang tamu bersama Ludwig yang
memang kekihatannya mencemaskan kucingnya itu.
“Menyukaimu”.
“Hah?”
“Sabrina menyukaimu. Sepertinya.”
Ludwig lagi-lagi tersenyum. Ya Tuhan apa laki-laki ini memang suka tersenyum
pada orang lain? Bahkan orang yang baru dikenalnya? Apa dia tidak takut kalau
andai saja Sabrinanya itu ku bunuh lalu ku jadikan sate kucing? Aku hanya bisa
menjawabnya dengan tersenyum.
“Jadi kamu berkebangsaan Jerman?
Dan Ayahmu menikah dengan Ibumu yang berkebangsaan Indonesia? Itu sebabnya kamu
fasih berbicara Indonesia?
“Ya, begitulah.”
Aku dan Ludwig berbincang malam
itu dalam derasnya hujan. Mungkin tema hujan kali ini tentang pertemuan cinta.
Cinta yang tidak perlu kurisaukan lagi. Ludwig laki-laki yang baik dan dia sangat
ceria. Malam itu awal pertemuan kami. Dalam hujan, aroma capucino kami
bercerita. Selama di paris aku menghabiskan waktu bersamanya. Ludwig membuatku
tertawa setiap harinya meski di bawa hujan sekalipun. Aku menghabiskan bulan
desemberku di sini. Di Paris bersama Ludwig. Aku membiarkan rasaku ini bahagia
bersama orang lain. Meskipun ada luka dalam sebagaian hatiku. Mungkin ini
memang ditakdirkan akan menjadi akhir dari kisah cintaku dan Wahyu. Dalam hujan
kali ini, apa yang harus ku tulis tentangmu Wahyu? Kamu sang penenang hatiku,
yang melembutkanku dengan kasihmu? Semua ketenangan itu menjadi duka untukku.
“Chan, aku begitu bahagia
mengenalmu.” Ludwig mendekatkan tubuhnya. Aku bisa mencium aroma napasnya. “Aku
pernah mencintai seseorang dan dia menyakitiku lalu kamu datang dan menjadi
obat laraku. Bersamamu aku merasa menjadi utuh kembali”. Ya Tuhan apakah saat
ini Ludwig sedang menyatakan perasaannya? Apa yang harus aku lakukan? Ludwig
membuatku terkesan dengan kata-katanya. Dia menggandeng tanganku dan membawaku
di depan menara Eiffel yang memang berada tidak jauh dari apartemen. Icon yang
terkenal di Paris adalah menara Eiffel. Kata orang-orang menara Eiffel romantic.
Dan memang benar, Ludwig seketika menjadi romantis.
“Kamu lihat lampu-lampu itu”.
Dari kejauhan ku lihat lampu-lampu di menara Eiffel melambangkan bentuk hati.
Sepertinya Ludwig benar-benar menyatakan perasaannya. “Aku jatuh cinta kepadamu
Chan, kamu membuat aku semangat lagi”
“Sejak kapan kamu jatuh cinta
padaku?” Aku mulai mengeluarkan suaraku dan memberanikan diri bertanya
kepadanya.
“Sejak aku datang mencari Sabrina
ke tempatmu”. Jawabnya agak serius menatapku dalam-dalam.
Aku merasa tersanjung dengan
ungkapan perasaan yang dilakukan Ludwig. Ini Romantis sekali untukku, sungguh. Malam
ini hujan sudah reda tidak lagi deras seperti hari kemarin. Namun ada yang
mengganjal dalam hatiku. Wahyu. Teringat beberapa kenangan tentangnya. Tentang
saat aku bersamanya. Sejujurnya pintu ini masih terbuka untuknnya, tetapi dia masih
diam mematung di sana, di tempatnya. Tak ada kabar apapun darinya.
“Chan, maukah kamu jadi
kekasihku?” Ludwig menyatakannya sambil berlutut dan memberikan sebuah cincin
emas.
Aku hanya bisa tersenyum sebelum
rintik-rintik hujan yang reda tadi kemudian membasahi tubuhku. Hujan turun
lagi. Di bawah menara Eiffel. Di antara aku dan Ludwig. Kami buru-buru mencari
tempat perteduan. Lalu kami memilih Cafe di ujung jalan.
“Chan, Hujan itu romantis”
senyumnya. “Seromantis kita”. Kata-kata yang keluar dari bibirnya mengingatkanku.
Ya lagi-lagi pada Wahyu. Bayangan Wahyu masih terus menghantuiku sepanjang hari
dan bahkan sepanjang waktu. “Chan, tiap tetes air hujan ini mengandung kata.
Hujan itu membawa cerita”. Ludwig sekilas sangat mirip dengannya. Tetapi hati
ini tidak bisa berbohong jika bukan Ludwig yang di harapkannya. “Hujan
menyimpan sejuta cerita”.
Malam itu aku dan Ludwig
menghabiskan hujan di sebuah Café sambil menatap Eiffel dari kejauhan. Kami
bermain hujan-hujan dan malam itu aku belum memberikan jawaban kepada Ludwig,
apakah aku harus menerima cintanya dan melupakan kisahku dengan Wahyu untuk
merangkai kisah bersama dengannya? Akankah cerita hujan kali ini tentang aku dan Ludwig??????? Apa ini artinya hatiku
mulai berpetualang? Entahlah, yang kutau
cinta itu tau dimana rumahnya.
0 komentar