Oozma Kappa : Berburu Monster Kastil Tua
19.09Tiga anak remaja berdiri di depan pagar besi kastil tua yang sedikit berkarat dan penuh lumut. Cuaca malam hari membuat bulu kuduk bergidik. Ken, Bisma dan Larasati adalah tiga anak remaja yang bersahabat yang suka berpetualang. Ken adalah anak yang penakut. Rambutnya hitam jabrik. Sementara Bisma adalah anak yang serius. Tidak jarang dia selalu membawa perkakas yang berisi peralatan detektifnya. Larasati berambut pirang, gadis yang penuh semangat, cerdas dan memiliki rasa penasaran yang tinggi. Usia mereka bertiga sama. Dalam petualangan mereka selalu saja menemukan misteri-misteri yang tidak terduga. Mereka akhirnya menyebut kelompok mereka sebagai Ozama Kappa yang disingkat OK, sebenarnya jauh dari hal yang berbau misteri. Mereka terinspirasi ketika menonton kartun monster. Mereka bertiga ingin membuktikan jika di kastil tua tersebut tidak ada hantu, monster, juga suara-suara mengerikan.
Ken mengambil peralatan
dari dalam ranselnya. Dia mengambil tiga buah senter, beberapa lilin dan korek
api sebanyak-banyaknya untuk cadangan seandainya saja baterai senter
mereka habis. Larasati membawa satu buah ransel berisi penuh makanan. Dia
memanggul di punggungnya, seakan berpetualang di negeri antah berantah. Dia
merasa ini akan jadi petualangan terseru baginya sepanjang malam.
Pagar besi dibuka diiringi
bunyi derit desakan hati-hati. Dengan gesit ketiga remaja itu berjalan
masuk ke dalam pintu kastil.
“Selamat datang di rumah
monster!” seru Larasati.
Bisma meletakkan
perkakasnya di atas lantai dengan cahaya senter. Dibukanya perkakas tersebut
lalu diambilnya beberapa alat detektif. Sepasang sarung tangan untuk
dikenakannya agar sidik jari tidak ikut menempel di barang bukti. Jika
ada banyak sidik jari lain selain sidik jari pelaku di barang bukti, nanti bisa
bingung menyelidikinya. Kaca pembesar yang digunakan untuk memperjelas benda
atau tulisan yang terlalu kecil. Sebagai jiwa detektif, Bisma menggunakan kaca
pembesar dalam penyelidikannya agar benda-benda atau tulisan kecil tidak
ketinggalan diselidiki. Siapa tahu, benda-benda itu bisa jadi petunjuk untuk
memecahkan kasus misteri monster di kastil. Serta hadycam.
“Ken!” seru Bisma
menyerahkan handycam kepada Ken. “Lebih baik kamu melakukan tugasmu dengan
baik!”
Kastil itu begitu
luas, memiliki dua puluh lebih pintu. Pilar-pilar penompang terbuat dari
kumpulan beton. Kursi-kursinya berlapis silver. Patung tanduk binatang
terpajang di dekat salah satu pintu bagian barat.
“Waw, keadaan di dalam
kastil lebih bagus dari penampakan luarnya yang begitu menyeramkan,” ungkap
Ken. “Tapi, mengapa para warga mengatakan ada monster dan suara-suara aneh di
sini?” tanyanya menoleh ke arah Larasati dan Bisma.
“Ayo, kita jalan ke arah
pintu sebelah sana!” ajak Bisma menuntun kedua sahabatnya. Bisma berjalan
sambil melihat-lihat situasi menggunakan kaca pembesarnya.
“Ahh...,” jerit Ken
membelah keheningan kesenyapan di tengah kegelapan.
“Ken, tolong jangan buat
keributan!” Bisma yang sejak tadi sudah menelisir keadaan dengan kaca pembesar
melanjutkan jalannya ketika melihat tikus berkejar-kejaran. Matanya melotot
menatap Ken. Ken hanya melongos tidak mau berdebat. Mereka bertiga kembali
berjalan pelan. Larasati sedang menyoroti sinar dari senter pada
dinding-dinding dan berusaha membaca ukiran tulisan sanskerta. Beruntung sekali
karena dia membawa buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan.
“Ha-Na-Ca-Ra-Ka-Da-Ta-Sa-Wa-La-
“Pa-Dha-Ja-Ya-Nya-
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga”
“Apa yang kamu baca,
Larasati? Tulisan apa itu?” Mata Ken melotot
takjub. Larasati yang menangkap
suara pertanyaan Ken tetap saja menyoroti dinding. “Ini alphabet bahasa Jawa.
Aku pernah membacanya di buku sejarah kuno.” Larasati berpikir mengapa ada
alphabet Jawa terukir di dinding kastil. Larasati berusaha mengulang-ulang
membacanya, dan membuatnya semakin penasaran.
Larasati, Ken dan Bisma
menuju sebuah tangga besi yang berada di lorong panjang yang gelap. Dengan
mengenggam senter mereka menaiki tangga. Suara menyeramkan menyambut langkah
mereka. Tidak ada yang tau apa yang telah menanti mereka di atas sana.
Jam tua di tengah ruangan
mulai berdentang pelan-pelan begitu mereka sampai di atas. Angin kencang
bertiup, menguncang jendela kaca sehingga terdengar gaduh.
“Seperti kerajaan di
cerita dongeng saja!” Ken memandangi seputar atap-atap yang menjulang tinggi di
atasnya. Kastil-kastil yang jadi setting film Barbie yang menawan dan serasa
nyata. “Hei,” Ken terkejut, ada lorong yang sempit menuju ke ruang belakang.
Ruangan itu bahkan lebih gelap dan berdebu. Mereka bertiga melangkah masuk ke
dalam dan melihat botol-botol berisikan cairan kimia dan sarang laba-laba.
Pemandangan ini menarik perhatian ketiga remaja itu. Ada satu botol kaca bening
seukuran kaleng susu. Ken mengangkatnya dan melihat isinya. Dia mulai
memeriksanya dalam cahaya senter, dan membaca tulisan : PERMEN JELLY. Ini
terlihat keren, pikir Ken. Dia memutar-mutar botol itu di tangannya.
“Apa itu?” tanya Larasati.
Ken mengangkat bahu.
“Lihatlah, zat dalam botol ini hijau terang. Berkilau seperti jelly! Mungkinkah
ini jelly penerjemah?” kata Ken semangat.
“Kamu pikir, kamu berteman
dengan siapa? Doraemon? Hello.. lupakan imajinasi anehmu itu, Ken!” kata
Larasati dengan ekspresi tidak senang di wajahnya.
Ken menjulurkan satu jari
ke dalam dan menusukkannya. “Kenyal,” ujarnya.
Mereka bertiga kemudian
melanjutkan berjalan memeriksa keadaan di ruangan yang lain. Botol berisi jelly
tersebut diraih oleh Ken dan dimasukkan dalam saku celananya.
Suara gaduh terdengar
membuat ketiga remaja itu saling berpegangan. Ada sebarit ketakutan menyelimuti
wajah mereka. Mereka berbalik untuk melihatnya. Seekor kucing hitam menatap
mereka dari ambang pintu, mata kuningnya bersinar dalam cahaya malam. Mereka
mengendap-endap berjalan dalam bayangan tubuh mereka. Ada tetesan yang
tiba-tiba jatuh dan membasahi kepala serta baju mereka.
“Darah. Darah monster!”
teriak Ken yang akhirnya mendadak diam karena buru-buru di tatap sinis oleh
Larasati.
“Itu hanya cairan kimia.
Pasti!” ujar Larasati. Mereka kemudian kembali melangkah. Sesekali terdengar
suara langkah kaki, bayang-bayang hitam melesat cepat di antara kegelapan.
Baterai senter mereka mulai habis. Jeritan histeris mereka saling terdengar memecah
kegelapan.
“Lilinnya mana? Nyalakan
lilinnya!”
“Monster!” jerit Ken
mendadak. Dia melompat ke atas kursi.
“Apa yang terjadi, Ken,
mengapa kamu menjadi takut seperti itu?” tanya Bisma yang sudah memegang lilin
di tangannya. Bara api pada lilin sedikit menerangkan wajah Ken sehingga dapat
dilihat olehnya.
“Aku melihat monster,
Bisma! Di sana, tepat masuk ke dalam ruangan itu.” tunjuk Ken dengan mimik
wajah yang masih ketakutan. Apalagi malam semakin larut.
“Kamu pasti
berhalusinasi,” kata Larasati melirik sinis Ken selama beberapa detik.
“Hei, mau ke mana kamu?”
Ken menatap Bisma yang tanpa pikir panjang beranjak melangkah hendak memasuki
ruangan yang ditunjuk Ken.
“Mencari tau,” sahut Bisma
tidak menoleh. Dia membuka pintu dan menerangi seisi ruangan dengan beberapa
lilin.
“Apa kamu tidak salah
lihat?” Wajah Larasati terlihat penuh rasa penasaran. Dia dan Ken memutuskan
untuk mengikuti Bisma masuk ke dalam ruangan tersebut.
“JAUHI KASTIL INI!” Sebuah
tulisan berdarah terpampang di lemari cermin tua yang berdiri di sudut ruangan
yang bersebelahan dengan patung kepala serigala.
“Kamu lihat! Kastil ini
memang berhantu.” Ken membelalakkan matanya berusaha meyakinkan apa yang
dilihatnya lebih dari sekedar halusinasi.
“Aku dan Bisma tidak
melihatnya, jadi itu halusinasi.”
Ken menyeringai dengan
dengusan yang menyebalkan, seperti ingin berteriak jika dia benar-benar melihat
monster.
“Monster apa yang kamu
lihat, Ken? monster Mike? Sullivan? Ini bukan monster university, anak
penakut.”
“Kamu bisa membacanya?”
tanya Bisma segera menoleh Larasati begitu melihat ukiran tulisan sakserta di
sisi kiri dinding.
“Sebentar, aku harus
mengecek buku sejarahku dulu. Aku tidak yakin bisa membaca dengan benar. Tapi
aku rasa, kalimat itu merupakan sebuah clue.”
Bisma dan Ken mengamati
Larasati yang mulai duduk dan membaca buku dengan penerangan lilin. Dia
membolak balikan lembaran kitab sanskerta yang diambilnya dari dalam tas
ranselnya. “Aku lapar,” ujarnya kemudian begitu terdengar suara perutnya bunyi.
Mereka tetawa untuk sesaat.
Mereka duduk di lantai
melahap bekal roti bakar yang dibawa Larasati. Setidaknya mereka tidak berada
di rawa seperti saat insiden perkemahan setahun lalu. Rawa yang mengungkap
misteri terbunuhnya sarjana muda saat mengikuti science camp.
Sambil mengunyah roti
bakarnya, Larasati terus mencari arti dari kalimat yang terukir di dinding itu.
“Eureka!” seru Larasati diikuti senyuman dari Bisma dan Ken. “adanu adha
adhang, itu artinya tempat yang berhadapan dengan cahaya.”Ah, misterinya mulai
terpecahkan.”
“Lihat, ada gambar burung
merpati di bawa kalimat itu”, ujar Ken.
“Aku rasa di belakang
merpati itu matahari.” Bisma berkata datar. Wajahnya menandakan bahwa dia
sedang lelah.
“Cahaya, benar juga!”
sahut Larasati kegirangan.
“Jadi, apa kesimpulanmu,
gadis sejarawan?” Bisma memperhatikan gambar matahari di belakang merpati lalu
menggaruk-garuk kepala sambil bertanya pada Larasati.
“Ken, apakah semua senter
baterainya telah habis?”
“Sepertinya aku punya satu
senter cadangan. Ini tidak terlalu besar, tetapi….”
Larasati langsung
menyambar senter di tangan Ken lalu menyorotkannya tepat pada gambar matahari
sehingga memantulkan cahaya. Dinding tersebut yang semula terlihat sebagai
dinding biasa tiba-tiba saja terbuka. Dinding tersebut pintu menuju ruangan
rahasia. Ruangan itu seperti laboraturium.
Terdengar suara yang
menyeramkan membuat mereka bertiga menjadi kaget.
“Siapa
disana?”
“Itu pasti suara monster.
Aku mau pulang saja!” sahut Ken panik.
“Ssst…,” Bisma melototi
Ken yang berseru tiba-tiba. Dia berjalan satu langkah ke depan dan mengamati
sebuah jejak kaki di lantai yang penuh debu itu. Dikeluarkannya karbon dan juga
bubuk aluminium dari perkakasnya. Bubuk untuk mendeteksi jejak. Siapa tahu itu
bukan jejak monster melainkan jejak pencuri. Suara langkah kaki muncul dari
balik pintu rahasia.
“Aku terkejut kalian bisa
masuk melewati ruangan demi ruangan dan sampai ke laboraturiumku!” suara pria
tua dengan lembut berbicara pada mereka bertiga.
“Jadi artinya, semua
jawaban misteri monster dan suara menyeramkan di kastil tua ini sudah
terjawab.” Bisma berkata pelan. Wajahnya seolah ingin meyakinkan Ken bahwa
monster yang dilihatnya adalah sebuah robot serta suara menyeramkan hanyalah
tipuan yang muncul dari monitor.
“Selamat datang di
laboratoriumku! Saya adalah pemiliki kastil ini. Nyalakan lampu!” ujar pria tua
itu pada sebuah kotak persegi empat yang mirip recorder.
“Jadi, apa maksud anda
dengan semua ini? Apa anda sengaja menakuti warga sekitar?” Larasati menunjuk
monitor dan juga robot monster.
Pria tua itu terkekeh.“Ah,
maafkan saya. Saya hanya berniat menakuti orang-orang yang berusaha
mencuri barang berhargaku. Saya tidak tau jika ini menghebohkan warga
sekitar.”
“Anda tidak pernah
terlihat sebelumnya di kastil ini. Apa benar ini rumah anda?”
“Sebenarnya saya baru
datang sebulan yang lalu. Kastil tua ini peninggalan leluhur saya. Di dalam
kastil ini banyak barang berharga, seperti emas dan juga alat-alat primitif
yang masih tersimpan. Leluhur saya tidak menjual ataupun menaruhnya di museum
agar keturunannya dapat menjaga barang ini,” kata pria tua yang memperkenalkan
dirinya sebagai Kakek Jii.
“Anda yang membuat semua
alat-alat ini?” suara Bisma terdengar manis. Sorot matanya seakan menemukan sesuatu
yang lebih dari sekadar penemuan Newton.
“Ya, benar saya yang
membuatnya.”
“Besok pasti warga bisa
tenang kembali. Aku rasa kakek Jii akan kami rekrut menjadi anggota keempat
OK.” Bisma menepuk pundak Larasati dan juga Ken. sesekali dia mengedip nakal
kepada keduanya.
Larasati dan Ken hanya
bisa mendesah panjang sambil menggelengkan kepala. Mereka berdua menangkap
maksud kedipan nakal Bisma. Sementara Kakek Jii terbenggong-bengong dibuatnya.
Ending kurang memuaskan. Secara
keseluruhan cerita belum sempurna.
Telah di post di
http://www.readzonekami.com/2016/07/cerpen-cintya-r-sudiyono-oozma-kappa.html
0 komentar